Biografi Kyai Saleh Darat Semarang

March 3, 2010 § 10 Comments

Semarang tempo dulu

Salah satu ulama’ yang merupakan  embahnya para ulama di Jawa adalah Kyai Saleh Darat, seorang waliyullah yg menjadi guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Ponpes Jamsaren, Solo), KH Sya’ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak Yogyakarta), selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini. Dengan demikian dapat dikatakan, Kiai Saleh Darat merupakan guru bagi ulama-ulama besar di Tanah Jawa. Bahkan Nusantara.

Memang, Kiai Saleh Darat tak sepopuler tokoh lain. Ironis? Tentu saja. Sebab semasa hidupnya, Kiai Saleh Darat mashur di seantero Tanah Jawa, Nusantara, bahkan Asia Tenggara sebagai penulis kitab-kitab fikih, teologi, tassawuf, serta ilmu falak dengan gaya pegon (berhuruf Arab dengan bahasa Jawa).

Perjalanan Intelektual Beliau

KH.Soleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang.  Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820 dengan nama Muhammad Shalih. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Alsamarani. pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).

Kyai Kholil Bangkalan, teman seperjuangan beliau

Kyai Saleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada jamannya, ia banyak berjumpa dengan kyai-kyai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya. Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah K.H. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di jaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18. Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah “kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama.
Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Ba’lawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali. Masih di kota loenpia, Semarang-lah, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19, dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.
Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau,  nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai Murtadla’ pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu. Setelah menikah, Sholeh Darat merantau ke Mekkah, Di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.

Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.  Di pesantren inilah ulama’-ulama’ seperti ; KH Sya’ban, Kiai Moenawir, KH Ahmad Dahlan, KH Idris, KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd menuntut ilmu kepada beliau.

Kepribadian beliau

Beliau adalah sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak faham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab.

İni terlihat dari karangan-karangan beliau dimana pada setiap prolog selalu tertulis, “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam Terjemahan Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji

Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk melahirkan beragam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.

Pemikiran dan ajaran beliau

Kyai Saleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurut Saleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

Beliau juga mengajak masyarakat untuk gemar menuntut ilmu. Kyai Saleh Darat selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari Alquran adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”.

Kiai Saleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan jatuh pada paham atau keyakinan sesat.

Salah satu murid beliau, KH Hasyim Asy’ari.

Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.

Karangan-karangan beliau

KH Saleh darat banyak menulis kitab-kitab dengan menggunakan bahasa PEGON ( hurup Arab dengan menggunakan Bahasa Jawa) Bahkan Dialah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Beliau pula yg menterjemahkan Alquran yakni Kitab Faid ar-Rahman yang merupakan Tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dengan Hurup Pegon, Terjemahan Alquran dalam aneka versi bahasa, bukan hal asing lagi sekarang. Tapi, tidak di era akhir tahun 1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Alquran, asal jangan diterjemahkan.

Beliau menabrak larangan tak tertulis itu dengan mengakalinya, yakni dengan menulisnya menggunakan arab jawa atau Pegon sehingga tidak diketahui oleh belanda.

Kitab inilah yang beliau hadiahkan kepada RA Kartini sebagai Kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat yang menjabat sebagai bupati Rembang. Kartini sungguh girang menerima hadiah itu. ”Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami” demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan Demak.

Karya karya beliau lainnya adalah Kitab Majmu’ah asy-Syariah, Al Kafiyah li al-’Awwam (Buku Kumpulan Syariat yang Pantas bagi Orang Awam), dan kitab Munjiyat (Buku tentang Penyelamat) yang merupakan saduran dari buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam Al Ghazali, Kitab Al Hikam (Buku tentang Hikmah), Kitab Lata’if at-Taharah (Buku tentang Rahasia Bersuci), Kitab Manasik al-Hajj, Kitab Pasalatan, Tarjamah Sabil Al-’Abid ‘ala Jauharah at-Tauhid, Mursyid al Wajiz, Minhaj al-Atqiya’, Kitab hadis al-Mi’raj, dan Kitab Asrar as-Salah.Hingga kini Karya-karya beliau masih di baca di pondok-pondok pesantren Di jawa.

Wafatnya Beliau

Kyai Saleh Darat wafat di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun.

Meski demikian, haul-nya dilaksanakan baru pada 10 Syawal. Itu semata-mata agar masyarakat bisa mengikutinya dengan leluasa, setelah merayakan Lebaran dan Syawalan. Pada hari itu masyarakat dari berbagai penjuru kota menghadiri haul Kiai Saleh Darat di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang. Banyaknya umat yang hadir dalam acara itu, seolah menjadi tengara kebesaran namanya. Tak dapat dipungkiri, ulama akbar itu memang telah menjadi ikon Semarang di masa lalu.

Tagged: , , ,

§ 10 Responses to Biografi Kyai Saleh Darat Semarang

  • ilyasafsoh.com says:

    saya ingin belajar ngaji di tembalang semarang
    saya karyawan
    dimanakah pesantren salafi yang bisa saya ikuti ?

    ilyasafsoh
    tinggal di sendang mulyo

    jawab di blog saya

    trims

  • Raswin says:

    “Alhamdulillah..”

    tgl 12 Desember 2010

  • Subandrio says:

    Jika ingin ngali Salafiah , di masjid Darusalam, sdebelah hotel Plaza, Ngesrep, Semarang, disitu adalah murid2 dari Watu congol Muntilan, Dari mBah Mad (KH Syeh Ahmad Abdul Haq Dalhar), alirannya Thoroqot Sadziliah .

  • Muhammad Ari Ahmad says:

    selain km bisa belajar lewat cabang gurunya mbah KH. Ahmad Abdul Haq bin KH. Dalhar (watucongol) km juga bisa belajar ke Pondok pesantren Al Fitrah di meteseh, salah satu rintisan cabang dari Al Fitrah Kedinding Surabaya dibawah asuhan Alm. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy Kedinding Surabaya yang Thoriqohnya Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

  • Kemas Yustiar says:

    Makasih mas, tulisan bagus & luar biasa informatif, selama ini saya tahunya beliau itu gurunya RA Kartini, tapi ternyata beliau gurunya kiai-kiai legendaris di Jawa bahkan Nusantar & ternyata juga sejaman dengan Shekh Nawawi Al-Bantani dan Shaikhona Shekh Kolil Bangkalan. Semoga tulisan ini jadi amal soleh penulisnya آمِيّنْ يَا رَ بَّ العَـــالَمِيْن

    • niasato says:

      Kyai soleh Darat memang gurunya RA Kartini, ini ada sekelumit kisah tentang itu;

      Kartini: Dari Kegelapan Menuju Cahaya

      “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat
      Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).

      Lebih dari satu abad silam surat itu ditulis oleh “Ibu Kita Kartini”, kepada sahabatnya dari Eropa (Belanda) yang menjajah negeri ini kala itu. Akan tetapi, meski sudah demikian lama usianya, namun makna yang terkandung dalam kata-kata Kartini dalam suratnya tidak serta merta menjadi usang untuk diperbincangkan. Terlebih, kaitannya dengan kaum perempuan yang R.A Kartini sendiri dinobatkan sebagai pejuang hak kaum perempuan, hingga hari kelahirannya 21 April, senantiasa dikenang untuk mengapresiasi jasa-jasanya. Lebih menarik lagi, bahwa dunia saat ini masih berada pada era kapitalisme, pengusungnya adalah dunia Barat (benua Eropa salah satunya), yang otomatis tatanan masyarakat dunia saat ini merupakan bentukan/wujud dari peradaban kapitalisme yang sedang menjadi pemimpin dunia.

      Kartini, awalnya begitu memimpikan kehidupan kaum perempuan sebagaimana yang terjadi di Barat. Karenanya dalam surat curhatnya kepada sahabatnya, terungkap bagaimana dia menyanjung kehidupan liberal ala Eropa yang membuka peluang lebar-lebar bagi kaum perempuan untuk bergaul dengan siapa saja dan bisa memperoleh pendidikan. “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik. Orang baik-baik itu meniru perbuatan yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa.” (Surat Kartini Kepada Stella, 25 Mei 1899).

      Hal ini bisa dipahami mengingat Kartini sendiri lahir dan besar di lingkungan keluarga bangsawan/ningrat yang begitu ketat menjaga adat istiadat. Tidak boleh bergaul dengan sembarang orang terutama dari kalangan yang tidak ’sederajat’, tidak diperkenankan menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan dipingit sebelum tiba masanya untuk dinikahkan dengan orang yang dikehendaki orangtuanya.

      Namun, pandangannya terhadap masyarakat Eropa berubah ketika kehidupannya mulai bersinggungan dengan Islam. Berawal dari sebuah pengajian di rumah pamannya, telah mempertemukannya dengan seorang ulama; Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (Kyai Sholeh Darat) yang kala itu sedang mengajarkan tafsir al-Fatihah. Selanjutnya, dari Kyai Sholeh pulalah Kartini belajar al-Qur’an melalui terjemahan bahasa Jawa yang dituliskan untuknya.

      Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh menghadiahinya terjemahan Al-Qur’an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz (surat Al- Fatihah sampai surat Ibrahim). Dari sini Kartini mulai mempelajari Islam yang sesungguhnya. Namun sayang, belum selesai seluruh Al-Qur’an diterjemahkan dalam bahasa Jawa, Kyai Sholeh meninggal dunia.

      Lalu pada proses pembelajarannya, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 257, Kartini mendapati bahwa Allah-lah yang mengeluarkan/membimbing orang-orang beriman dari kegelapan menuju cahaya (Minadz-Dzulumaati ilan Nuur). Dalam berbagai suratnya, kata-kata ”Dari Kegelapan Menuju Cahaya” seringkali diulang-ulang yang sesungguhnya terinspirasi dari ayat ini. Belakangan, kata mulia ini, yang dalam bahasa Belandanya Door Duisternis Tot Licht-seperti Kartini tuliskan kepada sahabat-sahabatnya, yang sejatinya terinspirasi dari Al-Qur’an, oleh sastrawan Pujangga Baru Armijn Pane diterjemahkan menjadi ”Habis Gelap Terbitlah Terang”.

      Bersentuhan dengan Islam, telah membuat lahirnya transformasi spiritual yang begitu hebat dalam diri Kartini. Terbukti, dalam surat-suratnya kemudian, dia banyak menentang dan mempertanyakan budaya Eropa yang sebelumnya dia anggap sangat maju dan sempat membuat dirinya ingin menempati posisi sebagaimana layaknya perempuan Eropa. Simaklah kembali apa yang diungkapkannya seperti tertera di awal tulisan ini, juga dalam surat-surat berikut:

      ”Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan”. (Kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902).

      Kartini juga berupaya melakukan pembelaan untuk Islam. ”Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai”. (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).

      Bahkan di surat-suratnya yang lain, Kartini dengan tegas menyatakan keinginannya untuk menjadi hamba Allah yang sejati.

      ”Astagfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang”. (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 5 Maret 1902).

      ”Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah (Abdullah)”. (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903).

      ”Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903).

      ”Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun, ia sebenar-benarnya bebas”. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900).

      Lalu, Kartini Pejuang Gender?

      Betul, bahwa Kartini adalah pendobrak dalam memperjuangkan hak kaum perempuan negeri ini untuk memperoleh kesempatan yang sama terutama dalam pendidikan. Tapi benarkah Kartini menginginkan perempuan setara dalam segala hal? Benarkah Kartini pejuang gender sebagaimana selama ini kaum feminis/pejuang gender menobatkan dirinya? Suratnya berikut kiranya bisa memberikan jawaban yang jelas:“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902).

      Jelaslah bahwa cita-cita luhur Kartini adalah ingin mengubah masyarakatnya, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri dari hukum adat yang tidak adil, untuk kemudian beralih menuju keadaan dimana kaum perempuan bisa mendapatkan hak pendidikan sehingga lebih cermat dan cerdas dalam menjalankan kewajibannya sebagai kaum perempuan.

      Hal ini bisa dipahami karena di tangan perempuan/ibulah, kepribadian anak pertama-tama akan terbentuk. Kartini begitu menyadari bahwa perempuan adalah ujung tombak pendidik generasi penerus peradaban kelak. Perjuangannya atas pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan tak lain supaya perempuan bisa menjalankan kewajibannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya. Lebih dari itu, Kartini tak pernah bercita-cita untuk menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan laki-laki. Apalagi mengejar segala bentuk kesetaraan dengan meninggalkan perannya dalam rumah tangga.

      Pada akhirnya, Kartini sesungguhnya mengajak para Muslimah untuk memegang teguh ajaran Islam, juga meninggalkan ide liberal yang sejatinya menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Jelas pula bahwa perjuangan aktivis gender/feminis dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan kesetaraan dengan kaum lelaki dalam segala hal bukanlah cita-cita Kartini. Sejarah Kartini bahkan telah disalahartikan demi mencapai segala hasrat kebebasan ajaran kapitalis.

      Padahal, andai Kartini ”khatam mengaji”, mungkin saja nilai/hukum Islam niscaya akan kian kental ia realisasikan dalam hidupnya. Spirit Minadz-Dzulumaati ilan Nuur-pun akan kian membara menyertai perjuangannya. Sebagaimana cita-citanya untuk menjadi seorang hamba Allah (Abdullah) yang sejati, yang hanya pada-Nya dia akan berserah diri. Namun, Allah berkehendak lain, sang guru mengaji meninggal sebelum tuntas Al-Qur’an diterjemahkan untuknya, sementara Kartini sendiri ”syahid” saat melahirkan putra pertamanya. ”Semoga beliau mendapat rahmat”. http://sasakrinjani.multiply.com/reviews/item/31

  • nastainsromlita says:

    Kalau, boleh memberi sedikit informasi, di kab kediri tepatnya di Dsn Kaliawen Timur Desa Ngino Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri Ada Sebuah Makam, bernama Mbah Jamsari beserta istrinya, menurut sesepuh desa mbah jamsari berasal dari mataram dan pernah mendirikan sebuah pondok pesantren dan masjid di sebelah timur makam tersebut. peninggalan yang masih tersisa adalah sebuah sumur yang dipercaya masyarakat setempat peninggalan mbah jamsari.terima kasih. By. Nastarom.ins@gmail.com

  • arif says:

    Saya arif lahir di semarang. Tertarik dengan karya2 kyai saleh darat. Sekarang disimpan dimana ya karya2 beliau ?

Leave a reply to Kemas Yustiar Cancel reply

What’s this?

You are currently reading Biografi Kyai Saleh Darat Semarang at Spirit Islam Inside.

meta